SMOL.id – Prof Dr KH Imam Yahya MAg mengatakan, haji metaverse merupakan konsep yang masih dalam tahap pengembangan menggabungkan teknologi dengan ibadah haji.
‘’Konsep ini melibatkan penggunaan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) untuk memungkinkan orang untuk melakukan ibadah haji secara virtual. Konsep haji metaverse dapat digunakan sebagai sarana simulasi manasik haji kepada para calon jamaah ibadah haji dan umrah,’’ katanya dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Fiqih Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Senin (13/3) kemarin.
Dalam pidato berjudul ‘’Fiqih Digital Implementasi Digitalilisasi Agama dalam Fiqih Kontemporer’’pria asal Kabupaten Brebes itu mengatakan, dalam konsep Haji Metaverse, pengguna akan memiliki avatar yang dapat diatur sesuai dengan keinginan dan kemudian melakukan simulasi untuk melaksanakan rukun-rukun haji. Avatar tersebut akan mengikuti proses haji yang telah diprogramkan secara virtual dengan bantuan teknologi VR dan AR.

Konsep Haji Metaverse memungkinkan orang yang tidak dapat melaksanakan ibadah haji secara fisik karena keterbatasan fisik atau masalah keuangan, dapat melaksanakan ibadah haji secara virtual.
‘’Namun, penting untuk diingat bahwa pengalaman dalam Haji Metaverse tidak dapat menggantikan nilai spiritual yang sebenarnya dalam melaksanakan ibadah haji secara fisik. Konsep Haji Metaverse juga harus mempertimbangkan masalah teknis dan regulasi yang berkaitan dengan penggunaan teknologi dalam ibadah,’’ kata Imam Yahya.
Menurutnya tidak bisa mewakilkan ibadah badaniyah mahdhoh kecuali ibadah haji dan umrah. Maka dalam hal ini gagasan keterlibatan digital ke dalam proses ibadah haji hematnya tidak dapat menempati posisi ibadah haji pada semestinya. Namun dalam kondisi tertentu semisal untuk ibadah haji yang dibadalkan karna udzur, maka orang yang membadalkan dapat menggunakan konsep haji Metaverse sebagai sarana untuk dapat mengikuti dan merasakan serta menghayati proses ibadah haji yang dibadalkan kepada orang lain.
Hadir dalam upacara pengukuhan Gubernur Jateng diwakili Kepala Biro Kesra Imam Masykur, Rais Syuriyah PWNU Jateng KH Ubedulloh Shodaqoh SH, mantan Gubernur Jateng Ali Mufiz, Ketua Umum MUI Jateng dr KH Ahmad Darodji MSi dan tamu undangan.
Tiga Wilayah
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Prof Dr KH Imam Taufiq MAg dalam pidatonya mengatakan, membincang digitalisasi agama, ada tiga wilayah yang perlu dibedakan, yakni digitalisasi agama (mencakup materi dan ritual),
digitalisasi sosial keagamaan dan digitalisasi pemikiran keagamaan. Digitalisasi agama ada dua macam, religion online dan online religion.
‘’Religion online berarti informasi tentang materi agama atau materi tentang lembaga keagamaan di era sekarang yang dapat dilihat di web online. Transformasi informasi ajaran agama ke dunia digital merupakan keniscayaan, mengingat saat ini semua umat termasuk muslim sudah menyatu dengan dunia digital.
"Saya melihat religion online bisa dikategorikan sebagai salah satu upaya hifzuddin karena menjadikan ajaran agama mudah diakses oleh pemeluknya. Merespon fenomena ini tentunya setiap dari kita harus selektif, mengingat siapapun dapat mengisi materi ajaran agama di ruang digital, tidak ada otoritas khusus yang membatasi seseorang dalam memposting materi tentang ajaran agama,’’ kata rektor.
Adapun online religion menurut Imam Taufiq adalah substansi agama yang dionline-kan seperti gagasan haji online, akad nikah online, jum’atan online dan beberapa ritual keagamaan lainnya yang masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.
‘’Fenomena online religion inilah yang menjadi tantangan bagi para pemikir muslim untuk memberikan solusi yang berlandaskan mashlahat. Saya berharap Prof. Imam Yahya dapat mengemukakan gagasannya ke khalayak umum sebagai respon atas fenomena online religion ini. Wilayah yang kedua adalah digitalisasi sosial keagamaan, artinya terjadi interaksi antar umatberagama di dunia digital. Kita bisa melihat pemahaman agama seseorang dengan melihat postingan dan sikap mereka di dunia digital. Kita bisa menyaksikan perbedaan pendapat terkait isu keagamaan dari banyak tokoh secara luas dan terbuka. Fenomena ini merupakan sebuah keniscayaan yang juga perlu direspon, mengingat salah satu dampak dari fenomena ini adalah memudarnya otoritas keagamaan para tokoh agama yang tidak masuk dalam dunia digital,’’ tegas rektor.
Wilayah yang ketiga adalah digitalisasi pemikiran keagamaan (al-afkār al-dīniyyah). Artinya, ada perubahan dalam mengkaji agama yang disebabkan transformasi digital. Perubahan itu mencakup paradigma, metode yang digunakan, objek kajian ataupun lainnya yang terkait dengan kajian keagamaan. ‘
’Di era digital, kajian keagamaan akan lebih mudah dilakukan karena didukung dengan kemajuan sistem teknologi dan informasi. Fenomena ini menjadi angin segar bagi para peneliti, karena akan memperkaya perspektif mereka dalam menjawab suatu problem yang dihadapi saat ini. Tentunya hal ini harus diiringi dengan keterbukaan pemikiran dan akselerasi untuk menguasai berbagai perangkat digital yang dibutuhkan dalam memproduksi al-afkar ad-diniyah yang sejalan dengan salah satu tujuan agama yaitu hifẓ al-‘aql,’’ katanya.
Artikel Terkait
Revolusi Konservasi Bawah Laut oleh Coral Gardener: Ajak Bersedekah dengan Mengadopsi Bayi Karang
Romansa Wanita, Kopi dan Coklat
Ikranagara, Pelantang Kesenian Itu Telah Tiada
8 Maret: Hari Perempuan Internasional, Ini Filosofi dan Sejarahnya, Bagus Banget
30 Kata-kata untuk Hari Perempuan Internasional 8 Maret, Inspiratif Banget
Mari Kita Ubah, Sebelum Kita Diubah Bangsa Lain!
Apa Nama Hewan yang Punya Arti Selalu Berhenti? Ternyata Ini Jawaban yang Benar!
Arti Kenyang dalam Bahasa Bali Artinya Sangat Vulgar! Simak Arti yang Sebenarnya di Sini
Arti Sugih Tanpo Bondo, Digdoyo Tanpo Aji dalam Lagu Karya Sujiwo Tejo
Kopi, Dunia Fantasi Lelaki